Minggu, 07 November 2010

Filsafat Pendidikan Perenialisme

Diposting oleh Shofiorenza di 04.55

Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif.

Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Dalam
pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik.

Mohammad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.


PANDANGAN MENGENAI KENYATAAN
Perenialisme berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama ialah jaminan bahwa reality is universal that is every where and at every moment the same (2:299) realita itu bersifat universal bahwa realita itu ada di mana saja dan sama di setiap waktu.

Dengan keputusan yang bersifat ontologism kita akan sampai pada pengertian pengerian hakikat. Ontologi perenialisme berisikan pengertian : benda individual, esensi, aksiden dan substansi.

  • Benda individual adalah benda yang sebagaimana nampak di hadapan manusia yang dapat ditangkap oleh indera kita seperti batu, kayu,dll
  • Esensi dari sesuatu adalah suatu kualitas tertentu yang menjadikan benda itu lebih baik intrinsic daripada halnya, misalnya manusia ditinjau dari esensinya adalah berpikir
  • Aksiden adalah keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensialnya, misalnya orang suka barang-barang antik
  • Substansi adalah suatu kesatuan dari tiap-tiap hal individu dari yang khas dan yang universal, yang material dan yang spiritual.

Menurut Plato, perjalanan suatu benda dalam fisika menerangkan ada 4 kausa.

  • Kausa materialis yaitu bahan yang menjadi susunan sesuatu benda misalnya telor, tepung dan gula untuk roti
  • Kausa formalis yaitu sesuatu dipandang dari formnya, bentuknya atau modelnya, misalnya bulat, gepeng, dll
  • Kausa efisien yaitu gerakan yang digunakan dalam pembuatan sesuatu cepat, lambat atau tergesa tergesa,dll
  • Kausa finalis adalah tujuan atau akhir dari sesuatu. Katakanlah tujuan pembuatan sebuah patung.

PANDANGAN MENGENAI NILAI
Perenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sedangkan perbuatan manusia merupakan pancaran isi jiwanya yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan.

Secara teologis, manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai yang merupakan suatu kesatuan dengan Tuhan. Untuk dapat sampai kesana manusia harus berusaha dengan bantuan akal rationya yang berarti mengandung nilai kepraktisan.
Menurut Aristoteles, kebajikan dapat dibedakan: yaitu yang moral dan yang intelektual. Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang merupakan dasar dari kebajikan intelektual. Jadi, kebajikan intelektual dibentuk oleh pendidikan dan pengajaran.

Kebajikan intelektual didasari oleh pertimbangan dan pengawasan akal. Oleh perenialisme estetika digolongkan kedalam filsafat praktis. Kesenian sebagai salah satu sumber kenikmatan keindahan adalah suatu kebajikan intelektual yang bersifat praktis filosofis. Hal ini berarti bahwa di dalam mempersoalkan masalah keindahan harus berakar pada dasar dasar teologis, ketuhanan.

PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN
Kepercayaan adalah pangkal tolak perenialisme mengenai kenyataan dan pengetahuan. Artinya sesuatu itu ada kesesuaian antara piker (kepercayaan) dengan benda-benda. Sedang yang dimaksud benda adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip keabadian.

Oleh karena itu, menurut perenialisme perlu adanya dalil-dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah atau ditolak kebenarannya. Menurut Aristoteles, Prinsip-prinsip itu dapat dirinci menjadi :

  • Principium identitatis, yaitu identitas sesuatu. Contohnya apabila si Bopeng adalah benar รข€“ benar si Bopeng ia todak akan menjadi Si Panut.
  • Principium contradiksionis ( prinsipium kontradiksionis), yaitu hukum kontradiksi (berlawanan). Suatu pernyataan pasti tidak mengandung sekaligus kebenaran dan kesalahan, pasti hanya mengandung satu kenyataan yakni benar atau salah.
  • Principium exelusi tertii (principium ekselusi tertii), tidak ada kemungkinan ketiga. Apabila pernyataan atau kebenaran pertama salah, pasti pernyataan kedua benar dan sebaliknya apabila pernyataan pertama benar pasti pernyataan yang berikutnya tidak benar.
  • Principium rationis sufisientis. Prinsip ini pada dasarnya mengetengahkan apabila barang sesuatu dapat diketahui asal muasalnya pasti dapat dicari pula tujuan atau akibatnya.

Perenialisme mengemukakan adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat.

Science sebagai ilmu pengetahuan
Science yang meliputi biologi, fisika, sosiologi, dan sebagainya ialah pengetahuan yang disebut sebagai empiriological analysis yakni analisa atas individual things dan peristiwa-peristiwa pada tingkat pengalaman dan bersifat alamiah.

Science seperti ini dalam pelaksanaan analisa dan penelitiannya mempergunakan metode induktif. Selain itu, juga mempergunakan metode deduktif, tetapi pusat penelitiannya ialah meneliti dan mencoba dengan data tertentu yang bersifat khusus.


Filsafat sebagai pengetahuan
Menurut perenialisme, fisafat yang tertinggi ialah ilmu metafisika. Sebab, science dengan metode induktif bersifat empiriological analysis (analisa empiris); kebenarannya terbatas, relatif atau kebenarannya probability.

Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat ontological analysis, kebenaran yang dihasilkannya universal, hakiki, dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri, berpangkal pada hukum pertama; bahwa kesimpulannya bersifat mutlak, asasi.

Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap diakui urgensinya, sebab analisa empiris dan analisa ontology keduanya dianggap perenialisme dapat komplementatif. Tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh hukum hukum dalam filsafat sendiri, tanpa tergantung kepada ilmu pengetahuan.

1. FILSAFAT PERENIALISME

perenialisme merupakansuatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekel, atau selalu. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. perenialisme menentang pandangan progresifisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.
Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta membahayakan tidak ada satupun yang lebih bermanfaat dari pada kepastian tujuan pendidikan, serta kesetabilan dalam perilaku pendidik. Mohammad Noor Syam (1984) mengemukaan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannyapada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memendang pendidikansebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang dalam kebuyaan ideal.

  • Pandangan menenai kenyataan

Perenialisme berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama adalah janinan bahwa reality is universal that is every where and at every moment the same (2:299) realita itu bersifat universal bahwa realita itu ada dimana saja dan sama di setiap waktu.

  • Pandangan mengenai nilai

Perenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritua, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya.Sedangkan perbuatannya merupakan pancaran isi jiwanya yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan.

  • Pandangan mengenai pengetahuan

Kepercayaan adalah pangkal tolak perenialinme mengenai kenyataan dan pengetahuan. Artinya sesuatu itu ada kesesuaiannya antara piker (kepercayaan) dengan benda-benda. Sedang yang dimagsud benda adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip keabadian.

  • Pandangan tentang pendidikan

Teori atau konsep pendidikan perenialaisme dilatarbelakangi oleh filsafat-filsafat plato sebagai Bapak Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme Klasik, dan Filsafat Thomas Aquina yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan dengan ajaran Gereja Katolik yang tumbuh pada zamannya.

  • Pandangan mengenai belajar

Teori dasar dalam belajar menurut perenialisme adalah mental disiplin sebagai teori dasar penganut perenialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan berfikir (mental dicipline) Dlah salah satu kewajiban dari belajar, atau keutamaan dalam proses belajar (yang tertinggi). Karena itu teori dan program pendidikan pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan kemampuan.

Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluur yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Jelaslah bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan keapaan masa lampau ini, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme rnemandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebuoayaan dan pendidikan zaman sekarang.
Dari pendapat ini sangatlah tepat jika dikatakan bahwa perenialisme mcmandang pendidikan itu sebagai jalan kembali yaitu sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman modern) in terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan kemasa lampau.
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, di mana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat pendidikan.
Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri yang cukup berat timbulah usaha untuk bangkit kembali, dan perenialisme berharap agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat sebagai suatu azas yang komprehensif Perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu pandangan hidup yang bcrdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya.

C. Tokoh-tokoh Perenialisme
Gambar 9: AristotelesFilsafat perenialisme terkenal dengan bahasa latinnya Philosophia Perenis. Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri, kemudian didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang.
Jadi sikap untuk kembali kemasa Iampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
Gambar 10: PlatoAsas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat, kebudayaan yang mempunyai dua sayap, yaitu perenialisme yang theologis yang ada dalam pengayoman supermasi gereja Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas, dan perenialisme sekular yakni yang berpegang kepada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B Hamdani Ali dalam bukunya filsafat pendidikan, bahwa Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis, yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST. Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama perenialisme.
Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain dari itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme.
Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti dan memaham'i kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi (Bamadib, 1990: 64-65).
Jadi aliran perenialisme dipakai untuk program pendidikan yang didasarkan atas pokok-pokok aliran Aristoteles dan S.T Thomas Aquinas. Tokoh-tokoh yang mengembangkan ini timbul dari lingkungan agama Katholik atau diluarnya.

D. Pandangan Perenialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi menurut perenialisme, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif yang bersifat analisa. Jadi dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan melalui akal pikiran. Menurut epistemologi Thomisme sebagian besarnya berpusat pada pengolahan tenaga logika pada pikiran manusia. Apabila pikiran itu bermula dalam keadaan potensialitas, maka dia dapat dipergunakan untuk menampilkan tenaganya secara penuh.
Jadi epistemologi dari perenialisme, harus memiliki pengetahuan tentang pengertian dari kebenaran yang sesuai dengan realita hakiki, yang dibuktikan dengan kebenaran yang ada pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada logika melalui hukum berpikir metode dedduksi, yang merupakan metode filsafat yang menghasilkan kebenaran hakiki, dan tujuan dari epistemologi perenialisme dalam premis mayor dan metode induktifnya sesuai dengan ontologi tentang realita khusus.
Menurut perenialisme penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Prinsip-prinsip pertama mampu mempunyai penman sedemikian, karena telah memiliki evidensi diri sendiri.
Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal faktor-faktor dengan pertautannya masing-masing memahami problema yang perlu diselesaikan dan berusaha untuk men gadakan penyelesaian masalahnya. Dengan demikian ia telah mampu mengembangkan suatu paham.
Anak didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-bidang seperti bahasa dan sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam dan lain-lainnya, telah banyak yang mampu memberikan ilmunisasi zaman yang sudah lampau.
Dengan mengetahui rulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal tersebut, yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua keuntungan yakni:

1. Anak-anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lamp au yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar.

2. Mereka memikirkan peristiwa-peristiwa penting dan karya­karya tokoi1 terse but untuk diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangan (reverensi) zaman sekarang.
Jelaslah bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan pemikiran karya-karya buahpikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana pemikiran para ahli terse­but dalam bidangnya masing-masing dan dapat mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat berguna bagi diri mereka sendiri, dan sebagai bahan pertimbangan pemikiran mereka pada zaman sekarang ini. Hal inilah yang sesuai dengan aliran filsafat pereni­alisme tersebut.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya. ladi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tug as pendidikanlah yang memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
Adapun mengenai hakikat pendidikan tinggi ini, Robert Hutchkins mengutarakan lebih lanjut, bahwa kalau pada abad pertengahan filsafat teologis, sekarang seharusnya bersendikan filsafat metafisika. Filsafat ini pada dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan. Di samping itu, dikatakan pula bahwa karena kedudukan sendi-sendi tersebut penting maka perguruan tinggi tidak seyogyanya bersifat utilistis.
Dari ungkapan yang diutarakan oleh Robert Hutchkins di atas mengenai hakikat pendidikan tinggi itu, jelaslah bahwa pendidikan tinggi sekarang ini hendaklah berdasarkan pada filsafat metafisika yaitu filsafat yang berdasarkan cinta intelektual dari Tuhan. Kemudian Robert Hutchkins mengatakan bahwa oleh karena manusia itu pada hakikatnya sama, maka perlulah dikembangkan pendidikan yang sama bagi semua orang, ini disebut pendidikan umum (general education). Melalui kurikulum yang satu serta proses belajar yang mungkin perlu disesuaikan dengan sifat tiap individu, diharapkan tiap individu itl! terbentuk atas dasar landasan kejiwaan yang sama.

E. Pandangan dan Sikap Saya tentang Aliran Perenialisme
1. Pandangan secara Ontologi
Ontologi perennialisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individuIl, esensi, aksiden dan substansi. Perennialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya menurut istilah ini. Benda individual disini adalah bend a sebagaimana nampak diha­dapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indera seperti batu, lembu, rumput, orang dalam bentuk, ukuran, warna dan aktifitas tertentu.
Misalnya bila manusia ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Adapun aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan yang sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensial, misalnya orang suka bermain sepatu roda, atau suka berpakaian bagus, sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap individu, misalnya partikular dan uni versal, ma­terial dan spiritual.
Jadi segala yang ada di alam semesta ini seperti halnya manusia, batu bangunan dasar, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya mem­pakan hal yang logis dalam karakternya. Setiap sesuatu yang ada, tidak hanya merupakan kambinasi antara zat atau bend a tapi merupakan unsur patensiaJitas dengan bentuk yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang diutarakan aleh Aristateles tetapi ia juga merupakan sesuatu yang datang bersama-sama dari sesuatu "apa" yang terkandung dalam inti (essence) dan potensialitas dengan tindakan untuk "berada" yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang diungkapkan oleh ST. Thomas Aquinas.
Uraian di atas sejalan dengan apa yang dikatakan I.R Poedjawijatna bahwa esensi dari pada kenyataan itu adalah menuju ke arah aktualitas, sehingga makin lama makin jauh dari patensialitasnya. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap waktu adalah patensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas. Misalnya meskipun manusia dalam hidupnya jarang dikuasai oleh sifat eksistensi kemanusiaan, tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan kemauan­nya, Schula ini dapat dikurangi. Hal-hal yang bersifat partikular yang merintangi kehidupan dapat diatasi. Maka dengan peningkatan suasana hidup spiritual ini manusia dapat makin mendekatkan diri kepada gerak yang tanpa gerak itu, ialah tujuan dan bentuk terakhir dari segalanya.
Jadi dengan demikian bahwa segala yang ada di alam ini terdiri dari materi dan bentuk atau badan dan jiwa yang disebut dengan substansi, bila dihubungkan dengan manusia maka manusia itu adalah patensialitas yang di dalam hidupnya tidak jarang dikuasai oleh sifat eksistensi keduniaan, tidak jarang pula dimilikinya akal, perasaan dan kemauannya semua ini dapat diatasi. Maka dengan suasana ini manusia dapat bergerak untuk menuju tujuan (teleologis) dalam hal ini untuk mendekatkan diri pada supernatural (Tuhan) yang merupakan pencipta manusia itu sendiri dan merupakan tujuan akhir.

2. Pandangan Epistemologis Perennialisme
Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian an tara pikir dengan benda-benda. Benda-benda disini maksudnya adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. lni berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan terlindung apabila segala sesuatu dapat diketahui dan nyata. Jelaslah bahwa penge­tahuan itu inerupakan hal yang sangat penting karena ia merupakan pengolahan akal pikiran yang konsekuen.
Menurut perenialisme filsafat yang tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab science sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisa empiris kebenarannya terbatas, relatif atau kebenaran probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat anological analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpangkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi.

3. Pandangan Aksiologi Perennialisme
Perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Dengan azas seperti itu, tidak hanya ontologi dan epistemologi yang didasarkan atas prinsip teologi dan supernatural, melainkan juga aksiologi. Khususnya dalam tingkah laku manusia, maka manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping itu adapula kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik.
Masalah nilai itu merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada azas-azas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh karena itulah hakekat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran itu bertahan dan tetap berlaku. Secara etika, tindakan itu ialah yang bersesuaian dengan sifat rasional seorang manusia, karena manusia itu secara alamiah condong kepada kebaikan.
Jadi manusia sebagai subyek dalam bertingkah laku, telah memiliki potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping adapula kecenderungan-kecenderunngan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik. Tindakan yang baik adalah yang bersesuaian dengan sifat rasional (pikiran) manusia. Kodrat wujud manusia yang pertama-tama adaJah lercermm dari jlwa dan pikirannya yang disebut dengan kekuataJl potensial yang membimbing tindakan manusia menuju pada Tuhan at au menjauhi Tuhan, dengan kata lain melakukan kebaikan atau kejahatan, Kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah tingkatan ini baru kehidupan berpikir rasional.
Dalam bidang pendidikan perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya, seperti Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan dan pikiran, Pendidikan hendaknya berorientasi pada p~tensi itu dan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi.
Dengan demikian jelaslah bahwa perenialisme itu rnenghendaki agar pendidikan disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai nafsu, kemauan dan pikiran sebagaimana yang dimiliki secara kodrat. Dengan memperhatikan hal ini, maka pendidikan yang berorientasi pada potensi dan masyarakat akan dapat terpenuhi.
Ide-ide Plato ini kemudian dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan, Bagi Aristoteles tujuan pendidikan adalah "kehahagiaan". Untuk mencapai pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus di kembangkan secara seimbang. Sejalan dengan uraian di atas, Zuhairini Arikunto juga berpendapat dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, mengatakan tujuan pendi­dikan yang dikehendaki oleh Thomas Aquinas ialah sebagai usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif dan nyata, Oalam hal ini peranan guru adalah mengajar dan memberikan bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.
Menurut Robert Hutchkins bahwa manusia adalah animal rasionale, maka tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi supaya anak didik dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri. Oleh karenanya tujuan pendidikan di sekolah perlu sejalan dengan pandangan dasar di atas, mempertinggi kemampuan anak untuk memiliki akal sehat.
Dapatlah disimpulkan bahwa tujuan dari pada pendidikan yang hendak dicapai oleh para ahli tersebut di atas adalah untuk mewujudkan agar anak didik dapat hidup bahagia demi kebaikan hidupnya sendiri. Jadi dengan akalnya dikembangkan maka dapat mempertinggi kemam­puan akal pikirannya. Dari prinsip-prinsip pendidikan perenialisme tersebut maka perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pebagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi.

a. Manusia adalah Hewan Rasional
Sebagaimana ditulis sebelumnya, kalangan perenialis menilai manusia secara umum mempunyai kesamaan dengan dunia hewan dalam hal keinginan, kesenangan dan tugas kerja. Sebagai contoh, anjing-anjing merasa senang mengendarai mobil, dapat membawa muatan dan bentuk kerja lainnya, dan menyukai makanan yang disiapkan untuk manusia. Dalam pengertian semacam ini, manusia dan hewan banyak mempunyai kesamaan. Hal yang membut berbeda adalah kenyataan, bahwa dari seluruh jenis hewan, hanya manusialah yang mempunyai kecerdasan rasional. Ini adalah karakteristik manusia yang paling berharga dan unik. Aristoteles beranggapan bahw manusia adalah hewan rasional, dan kalangan perenialis senada dalam hal ini. Dengan demikian, pandangan mereka tentang pendidikan amat mengutamakan pada pendidikan sisi rasional manusia. Hutchins menuliskan, bahwa “adalah suatu hal esensial untuk menjadi manusia dan suatu hal esensial pula belajar mempergunakan akal pikiran.” Setelah seseorang mengembangkan akal pikirnya, ia akan dapat menggunakan nalarnya untuk mengontrol nafsu dan syahwatnya.

b. Hakikat (Watak) Dasar Manusia secara Universitas Tak Berubah; Oleh Karena
itu, Pendidikan Harus sama untuk Setiap Orang.

Salah satu kenyataan penting hakikat rasional ini ada pada seluruh manusia di sepanjang penggal sejarahnya. Jika manusia adalah hewan rasional dan jika orang-orang itu sama dalam hal ini, maka itu berarti bahwa semua orang harus mendapatkan pendidikan yang sama. Terkait masalah ini, Hutchins menuliskan :
Setiap manusia memiliki fungsi sebagai manusia. Fungsi sebagai warga negara atau sebagai subjek mungkin beragam dan satu masyarakat ke masyarakat lain, dan sistem pelatihan, adaptasi, pengajaran atau mempertemukan kebutuhan-kebutuhan jangka pendek mungkin bisa beragam. Namun, fungsi sebagai manusia adalah sama dalam setiap kurun dan sebagai manusia adalah sama dalam setiap kurun dan setiap masyarakat, karena ia akibat dari hakikat dasarnya sebagai manusia. Tujuan sebuah sistem pendidikan adalah sama dalam setiap kurun dan setiap masyarakat di mana sistem tadi berada, yaitu mengembangkan manusia sebagai manusia”.

c. Pengetahuan Secara Universal Tak Berubah; Karena Itu, Ada materi Kajian
Dasar Tertentu yang Harus Diajarkan pada Semua Orang.

Jika pengetahuan tidak sama di segala tempat, maka orang-orang terpelajar tidak akan bisa setuju tentang sesuatu pun. Individu-individu mungkin mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda, akan tetapi ketika mereka setuju suatu pendapat jadilah sebagia pengetahuan. Sistem pendidikan harus berkaitan dengan pengetahuan, bukan pendapat, karena pengetahuan mengarahkan orang pada kebenaran abadi dan meperkenalkan subjek didik tentang keajegan-keajegan dunia. Hutchis menandaskan keseragaman kurikulum pendidikan dalam edukasi berikut : “Pendidikan menyiratkan pengajaran. Pengajaran menyiratkan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran dimana pun sama. Sama karena itu, pendidikan di manapun harus sama.
Pendidikan, menurut kalangan perenialis yang berlawanan dengan kalangan progresif, “janganlah menyesuaikan individu dengan dunia, akan tetapi lebih pada menyesuaikannya dengan kebenaran”. Kurikulum janganlah memusatkan pada kepentingan jangka pendek subjek didik, sesuatu yang sesat tampak penting atau apa yang menarik bagi masyarakat tertentu dalam waktu dan tempat yang sangat spesifik. Fungsi pendidikan bukanlah pelatihan vokasional atau profesional. Sekolah harus memusatkan pada pendidikan intelek untuk menyerap dan memahami kebenarna-kebenaran abadi an essensial yang menghubungkan peran manusia dalam kehidupan masyarakat. Pengetahuan dasar semacam ini akan membantu orang memahami satu sama lain dan akan membekali mereka secara lebih baik untuk berkomunikasi dan membangun sebuah tatanan sosial yang lebih memuaskan.

d. Materi Kajian, Bukan Subjek Didik, Harus Berada pada Inti Usaha Serius
Kependidikan

Sebagian banyak kalangan perenialis setuju bahwa jika sistem pendidikan adalah untuk memperkenalkan subjek didik dengan kebenaran abadi; ia harus mempunyai sebuah kurikulum yang menekankan pada bahasa, sejarah, matematika, ilmu alam, filsafat, dan seni.
Hal utama pembelajaran dalam perenialisme terletak pada aktivitas-aktivitas yang didesain untuk mendisiplinkan akal pikir. Latihan mental yang sulit termasuk membaca, menulis, drill, menghafal, dan menghitung adalah hal penting dalam pelatihan dan pendisiplinan intelek. Belajar untuk menalar juga hal penting, dan karena itu latihan-latihan dalam tata bahasa, logika, dan retorika dianggap aktivitas-aktivitas yang berguna. Tugas-tugas semacam itu mungkin agak tidak disukai oleh rata-rata subjek didik, namun hal ini amat berguna karena kemauan dikembangkan seraya subjek didik tekun bergelur dengan tugas-tugas intelektual yang berat. Pendisplinan mental ruangan kelas yang dipaksakan dari luar membantu anak menginternalisasi daya kemauan yang nantinya akan diperlukan sewaktu ia menghadapi tugas-tugas sulit dalam kehidupan dewasa di mana tak ada lagi 'pemaksa' yang mendorongnya untuk merampungkan tugas-tugas yang tidak menyenangkan.
e. Karya-karya Besar Masa Lampau adalah Sebuah “Gudang” Pengetahuan dan
Kebijaksanaan yang Telah Teruji Waktu dan Relevan dengan Masa Kita

Program (pengajaran) karya-karya besar yang berkaitan dengan Hutchins, Adler, dan St. John's College adalah terobosan yang menjadikan perenialisme mendapatkan publisitas yang luas, sungguhpun tidak semua tokoh terkemuka dalam pergerakan ini mendukung program tersebut. Mereka yang mendukung pendekatan (pengajaran) karya-karya besar menandaskan bahwa pengkajian karya-karya para pemikir terkemuka adalah sarana terbaik untuk sampai pada 'persentuhan' dengan gagasan-gagasan besar manusia, dan karenanya sarana yang paling handal untuk mengembangkan kecerdasan intelek.
Kebesaran sebuah buku terletak pada statusnya sebagai buku klasik. Sebuah buku klasik adalah karya yang relevan bagi tiap kurun dan karena itu berda di atas karya-karya manusia pada umumnya. Karya-karya yang pantas masuk ke dalam kategori ini adalah karya-karya yang telah teruji oleh perjalanan waktu. Karena karya-karya buku semacam itu telah diakui bernilai dalam lintas abad, budaya dan peradaban, maka mereka tentunya berisi 'seabrek' kebenaran. Jika asumsi ini benar, tutur kalangan perenialis, maka pengkajian terhadap mereka merupakan keharusan. Adler menuliskan bahwa pembacaan karya-karya besar bukanlah untuk tujuan-tujuan 'mengoleksi' hal-hal kuno; kepentingannya tidaklah bersifat arkeologis atau filologis .. Karya-karya semacam itu dibaca lebih karena mereka sejalan dengan tuntutan masa kini seperti halnya waktu ditulis dulu, dan karena persoalan-persoalan yang diungkap dan gagasan-gagasan yang dimuat tidak tunduk pada hukum kemajuan yang tiada ujung.
Adanya penekanan pada pembacaan karya-karya besar yang asli berlawanan dengan tradisi esensialis dalam pendidikan yang menonjolkan buku teks sebagai car utama untuk mengalihkan materi kajian yang terorganisir. Hutchins menegaskan bahwa, “buku-buku teks kiranya telah banyak memerosotkan kecerdasan bangsa Amerika. Jika subjek didik harus tahu tentang Cicero, Milton, Galileo atau Adam Smith, mengapa ia tidak harus (juga) membaca karya-karya mereka.
Kalangan perenialis yang kurang menyukai program (pengajaran) karya-karya besar menegaskan bahwa sumber-sumber gagasan besar kontemporer dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Namun, mereka melihat perlunya subjek didik secara langsung bergumul dengan pemikir-pemikir besar daripada dengan bahan 'matang' yang termuat dalam buku-buku teks.

f. Pengalaman Pendidikan adalah (lebih dari) Sebuah Persiapan untuk Hidup
daripada Sebuah Kondisi Kehidupan yang Riil
Sekolah dasarnya adalah sebuah tatanan arti fisial (buatan) di mana intelek-intelek yang belum matang berkenalan dengan capaian-capaian terbesar manusia. Sekolah, seperti pandangan progresif, bukanlah miniatur dari masyarakat yang lebih luas. Kehidupan manusia, dalam pengertian utuhnya, dapat dijalani hanya setelah aspek rasional manusia dikembangkan. Sekolah adalah sebuah institusi khusus yang berupaya mencapai misi yang amat penting ini. Sekolah tidak terlalu berkepentingan dengan persoalan semacam pekerjaan, hiburan, dan rekreasi manusia. Hal-hal ini mempunyai tempat dalam kehidupan manusia, akan tetapi berada di luar lingkup aktivitas pendidikan.

0 komentar:

 

Shofiorenza Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by web hosting